potret

potret
sudut desa

Minggu, 18 Juli 2010

Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara


Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara






Peta Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara
Peta Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara

Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara

Senin, 12 Juli 2010

Dokumentasi Kebun Sawit di Sedulang



         Tak lama lagi kebun kelapa sawit milik beberapa perusahaan perkebunan ini akan memulai masa panennya. Perlahan tapi pasti, perubahan tingkat kesejahteraan warga sekitar lokasi perkebunan ini akan meningkat menjadi lebih baik. Gong pemberdayaan yang telah ditabuh oleh Bapak Prof. Dr. H. Syaukani, HR, MM melalui Program Gerbang Dayaku beberapa waktu silam kini telah berwujud nyata membuka jalan menuju kesejahteraan rakyat.
        Estafet kepemimpinan daerah kini akan dilanjutkan pada putri beliau, Rita Widyasari, S.Sos, sebagai Bupati Kutai Kartanegara, dengan Program Gerbang Raja. Kesuksesan Gerbang Raja ini pun memerlukan dukungan kita semua, masyarakat dan sektor swasta serta pemerintah perlu bersinergi dalam membangun daerah ini. Setiap elemen harus siap berbuat yang terbaik sesuai dengan bidang tugasnya. Semoga kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan dan cita-cita kita bersama dapat terwujud.

Selasa, 18 Mei 2010

Kelulusan SMPN 1 Muara Kaman

Pada Ujian Nasional 2010, di SMP Negeri 1 Muara Kaman diikuti oleh 166 peserta.Peserta dari SMP Negeri 1 sebanyak 67 orang sedangkan 99 orang peserta berasal dari SMP Terbuka. SMP Negeri 1 berhasil 93,94 %  pada UN Utama dan mengulang sebanyak 5 orang siswa atau 6,22 %. Sedang SMP Terbuka pada UN Utama berhasil sebanyak 29 orang atau 55,77 % dan yang mengulang sebanyak 23 orang atau 54,23 %.
Menurut Yusran, S.Pd, Wakil Kepala SMP Negeri 1 Muara Kaman, tingkat kelulusan tahun ini mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yakni 100 %. Banyaknya siswa mengulang tahun ini sebagian besar dikarenakan tingkat ketelitian siswa dalam mengerjakan LJK tergolong masih rendah. Terbukti ada satu ruangan dalan UN Utama yang lalu mengulang seluruhnya. 
Dalam UN Ulangan yang sedang dilaksanakan hari ini, diupayakan siswa dapat lebih teliti, lebih bersih dalam mengerjakan LJK sehingga keberhasilan siswa yang ujian ulang dapat berhasil dengan baik dan sesuai dengan harapan.
Masih menurut Yusran, kegagalan tahun ini hendaknya dapat menjadi perhatian dan bahan evaluasi bersama bagi pihak sekolah, guru, siswa dan orangtua sehingga pada tahun berikutnya hasil Ujian dapat ditingkatkan.

Tagih Janji Rita



 
Senin, 17 Mei 2010 , 09:55:00

TENGGARONG – Dukungan politik Forum Tenaga Honor Kukar (FTHK) ke calon nomor urut 6 Rita Widyasari-Ghufron berbuah manis. Kemenangan Rita-Ghufron diyakini akan mempermulus pencairan honorarium 5.701 tenaga tidak tetap daerah (T3D) yang dinaungi FTHK.

“Kami betul-betul yakin setelah dilantik, Bu Rita Widyasari akan segera mencairkan honor kami semua,” kata Ketua FTHK Ali Rohman, kemarin.

Menurut Ali Rohman, ada 3 tuntutan awal dari FTHK yang harus dipenuhi Rita setelah dilantik menjadi bupati Kukar definitif. Yakni surat keputusan (SK) pengangkatan, pembayaran honorarium dan payung hukum.

“Kami itu tenaga honor, jadi tak mungkin main proyek atau main-main. Yang kami inginkan hanya honor kami dibayar. Itu saja. Selama ini sudah 6 bulan honor kami ditunggak. Kami harap itu segera dibayar, dan selanjutnya honor kami dibayar per bulan,” katanya. Selain itu, FTHK juga menuntut adanya peraturan daerah (perda) dan peraturan bupati (perbup) yang mendukung T3D.

“Kami hanya minta di salahsatu pasalnya diselipkan mengenai kepastian pengangkatan tenaga honor di Kukar, dan jaminannya. Sehingga tak ada lagi masalah dalam pencairan honor,” katanya.

Dijelaskan Ali, FTHK memang saat masa kampanye Rita Widyasari sangat berperan aktif. Selama satu setengah bulan anggota FTHK selalu berusaha mengikuti jadwal tour Rita ke 18 kecamatan.

“Dengan menggunakan kendaraan pribadi kami selalu mengikuti Ibu Rita. Mendukung beliau di mana-mana. Kami memang all out mendukung saat kampanye. Sekarang kami ingin memetik hasilnya,” katanya.

Sebagai informasi, sejak maret lalu, perjuangan T3D menuntut honornya dibayar akhirnya mulai bermuara ke arah penggalangan suara di pemilihan kepala daerah (pilkada) Kukar 2010. Informasi yang dikumpulkan media ini, 5.701 T3D yang tergabung dalam FTHK menggantungkan pilihan ke kubu Rita Widyasari-Ghufron, sementara 2.896 T3D yang tergabung dalam Aliansi T3D Kukar (ATK) memilih mendukung kubu Awang Ferdian-Suko Buono.

Perjuangan kedua aliansi T3D ini untuk kejelasan status kepegawaian, pembayaran honorarium dan payung hukum, memang tak bisa disalahkan bila bermuara ke politik. Pasalnya jelang pilkada pada 1 Mei  lalu, pasangan calon memang menjanjikan tiga tuntutan itu diakomodir bila nantinya aliansi ini bisa menggalang massanya. Kubu FTHK yang paling kencang menggelar aksi demo besar-besaran, sudah merapat ke kubu Rita Widyasari-Ghufron.  Kubu Rita sudah menjanjikan kejelasan status mereka, jika nanti terpilih menjadi bupati. Hal ini pun tak ditampik Ketua FTHK Ali Rohman. Katanya, dari semua calon di pilkada Kukar, baru Rita yang memberikan kepastian itu.

Sementara, di kubu ATK yang telah mengajukan gugatan atas Pemkab ke Pengadilan Negeri (PN) Tenggarong karena tak menganggarkan honor mereka di APBD 2010, juga merapat ke salahsatu calon, yakni pasangan Awang Ferdian-Suko Buono. Informasi yang didapat media ini, kubu Awang Ferdi juga menjanjikan kepastian status dan pembayaran honorarium 2.896 T3D yang tergabung di aliansi ini. Sayang belakangan Awang Ferdian-Suko Buono kalah, sehingga saat ini ATK harus bersusah-payah menempuh jalur persidangan untuk menuntut pembayaran honorarium mereka.

Perbedaan kutub dukungan ini, juga menjelaskan mengapa FTHK dan ATK tak pernah sama-sama melakukan aksi, meskipun sama-sama memperjuangkan nasib T3D. Bila FTHK menggelar demo, ATK tak turun, begitu juga sebaliknya. Masing-masing berjuang dengan jalan sendiri, ATK bahkan lebih fokus pada gugatannya di PN Tenggarong. (che)

Senin, 03 Mei 2010

Sebuah Renungan

Umar Bakri dan Sartono
IST
Uki M Kurdi
Senin, 3 Mei 2010 | 06:20 WITA
 SELAMAT hari Senin. Anggaran pemerintah untuk sektor pendidikan nasional seperti tertuang dalam APBN 2010 sebesar Rp 195,6 triliun. Besaran anggaran ini sama dengan 20 persen dari total APBN.
    
Apakah anggaran itu tergolong besar? Apa hasil yang dicapai dari anggaran sebesar itu? Mohon untuk tidak terburu-buru melakukan justifikasi. Karena pengertian besar dan kecil menyangkut sebuah anggaran, sesungguhnya tergantung dari sejauh mana visi kita.
    
Tiga tahun yang lalu saya ngobrol dengan Bapak H Imdaad Hamid SE, Walikota Balikpapan, di ruang kerja saya di Jl Indrakila Balikpapan. Obrolan itu juga menyinggung soal rencana beliau tentang dunia pendidikan di kota dengan penduduk sekitar 600.000 jiwa ini.
    
Ketika itu, Pak Imdaad baru saja pulang dari melakukan kunjungan ke China. Dan, beliau terkagum-kagum pada bagaimana pemerintah Republik Rakyat China (RRC) memperlakukan para guru dengan sangat baik. Olehkarenanya, kata Pak Imdaad, tidak ada salahnya bila kita meniru mereka.
    
Di negeri dengan penduduk hampir 1,3 miliar orang itu, guru diberi gaji besar dan disediakan berbagai fasilitas lengkap. Pokoknya guru di China daratan tinggal fokus untuk meningkatkan kualitas anak didik. Nasib dan kehidupan ekonomi mereka, pemerintahlah yang menanggung semuanya.
     Sudah dua kali saya pergi ke China.  Apa yang diceritakan Pak Imdaad tentang nasib guru di RRC selalu mengusik saya untuk bisa melihatnya sendiri dengan mata kepalai. Apadaya, dengan dua kesempatan mengunjungi China, saya tak pernah punya kesempatan untuk membuktikan kondisi para guru di China, seperti yang dikagumi Pak Imdaad.
     Tentu kita berharap kiranya langkah-langkah kebijakan Pak Imdaad, dan seluruh kepala daerah kabupaten/kota di seluruh Provinsi Kalimantan Timur, berpihak sepenuhnya kepada dunia pendidikan. Karena provinsi ini masih sangat tergantung pada tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yang tentu basisnya adalah pendidikan. Saya sendiri sangat respek pada pemimpin daerah yang visioner menyangkut pembangunan pendidikan.
     Visi yang baik terhadap dunia pendidikan, selain tujuannya terkait dengan terjaminnya kontinuitas pasokan SDM yang berkualitas, tentu pula kita berharap pemerintah daerah di sini juga memperhatikan nasib para guru. Perlakuan pemerintah China yang pernah dilihat oleh Pak Imdaad, bisa saja dijadikan salah satu model untuk diterapkan di sejumlah kabupaten dan kota di Kaltim.
     Sehingga, kita tidak perlu ikutan merasakan betapa pilunya nasib para guru, seperti yang digambarkan oleh Iwan Fals dalam tembangnya berjudul Umar Bakri. "Umar Bakri, Umar Bakri, Banyak ciptakan menteri... Tapi mengapa gaji guru Umar Bakri, seperti dikebiri..."
    
Atau juga pilunya nasib Sartono. Pencipta lagu dan lirik himne guru berjudul "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" ini, adalah sebuah representasi gambaran nyata dari sosok imajiner Umar Bakrinya Iwan Fals.
    
Selama 24 tahun, Sartono, lelaki asal Madiun, Jawa Timur ini,  tetap setia menjadi guru honorer di sebuah SMP swasta. Harapannya untuk bisa diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) tak pernah kesampaian. Dari menteri berganti menteri pun hanya datang dengan membawa "hadiah"  uang Rp 600.000, bukan surat pengangkatan sebagai PNS.
    
Sartono yang pada tanggal 29 Mei nanti genap berusia 72 tahun, sudah pensiun tahun 2002. Kini, kehidupan sehari-harinya tergantung dari pensiun istrinya yang tak lebih dari dari Rp 1 juta. Sartono sendiri kala masih aktif mengajar, gajinya pada akhir pengabdiannya sebagai guru seni musik cuma Rp 60.000 per bulan.
    
Memang, lelaki muslim yang mengajar di  SMP Kristen Santo Bernadus, Madiun ini, telah menerima berbagai penghargaan. Namun, penghargaan itu kebanyakan berupa piagam saja.  Ironisnya,  himne "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" ciptaannya  selalu dinyanyikan sebagai lagu wajib saat kita memperingati Hari Pendidikan Nasional.
   
 Kemarin, tanggal 2 Mei, kita bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Potret imajinernya Iwan Fals dengan Umar Bakri, dan sosok nyata dari Sartono, adalah sebuah ironi atas nasib yang masih menimpa sejumlah guru kita di negeri ini.
    
Oleh karena itu, kita sangat berharap akan lahirnya sejumlah pemimpin yang punya visi cemerlang dalam dunia pendidikan, namun juga tidak lupa memikirkan nasib para guru.
   
 Karena, rasanya kita ini tidak pantas menjadi bangsa yang hanya memiliki icon "Guru, Engkau Patriot Pahlawan Bangsa Tanpa Tanda Jasa." Kalimat tersebut saya kutip dari lagu "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" gubahan Sartono. Yang, sesungguhnya bisa diartikan sebagai ungkapan kegetiran Sartono atas derita dirinya dan para guru yang bernasib sama yang hingga kini masih bertebaran di seluruh pelosok negeri.
    
Pembaca yang saya hormati. Silakan melanjutkan membaca berita-berita sajian Tribun Kaltim edisi hari ini. Kami berharap kiranya sajian kami dapat memberi manfaat sebesar-besarnya untuk para pembaca.
    
Terkait dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional, mohon untuk membiasakan diri memberi apresiasi kepada para guru kita. Karena sesungguhnya agama kita juga mengajarkan kita untuk menghormati para pendidik, guru, dan alim ulama.
     Salam.(*)

Jumat, 30 April 2010

Racun Pendidikan dan Para Guru Musyrik

 Oleh : Aris Darmawan
Tentang gaji tenaga bantu (naban) yang Rp 720 ribu per bulan. Kontroversi ketidaklayakan jumlah yang tergolong sangat kecil itu. Survei data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kebutuhan per bulan satu keluarga Rp 3,9 juta. Standar UMK Balikpapan Rp 1.075.000. Masih dikajinya tambahan Rp 355.000 (untuk memenuhi angka UMK itu) yang jika dikali 533 (jumlah naban di Balikpapan) x 12 bulan mencapai Rp 2.270.580.000 per tahun.

RASANYA, ingin saya membahas soal berita yang tertulis di Kaltim Post kemarin itu, tapi saya tak mampu. Terlalu banyak yang ada di otak ini, saking prihatinnya, sampai susah sekali saya tumpahkan. Karena kondisi ini sama seperti yang dialami guru honorer di Balikpapan. Informasi yang saya terima dari salahsatu anggota Komisi IV DPRD Balikpapan, guru honorer di kota ini digaji sekira Rp 500 ribuan per bulan, padahal kata anggota dewan itu, sudah ada SK Wali Kota Balikpapan yang mengatur tentang gaji guru honorer, yang kisarannya Rp 800 ribuan.

Sekadar untuk saling sharing, berikut saya ceritakan, pengalaman yang kebetulan saya baca.

Dalam satu kesempatan pertemuan para guru di Surabaya belum lama ini, Fathur Rohim, kepala SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, bertanya kepadaCEO Jawa Pos GroupDahlan Iskan (kini Dirut PLN), tentang bagaimana dia bisa sukses membangun Jawa Pos. ''Siapa tahu, kesuksesan itu bisa ditularkan kepada guru-guru yang hadir,'' ujar Fathur.

Dahlan menjawab dengan menceritakan masa kecilnya dulu. Semasa kecil, pria asli Magetan itu sempat masuk pondok pesantren. Dia belajar tauhid selama enam tahun. Inti pelajaran tauhid adalah mengesakan Allah. Jika ditarik pengertiannya, arti bertauhid adalah fokus pada Tuhan. ''Berfokus artinya tidak mikir macam-macam,'' terang Dahlan.

Teori bertauhid itulah yang dia jadikan pedoman untuk meraih kesuksesan. Selama menjadi wartawan, dia selalu fokus. Yaitu, fokus menjalani dunia jurnalistik. Siapa pun yang fokus, ujar Dahlan, bisa meraih kesuksesan. Nah, jika tidak fokus, kata Dahlan, bisa dibilang ''musyrik''.

Kategori musyrik itu bermacam-macam. Mulai yang ringan hingga yang parah. Dahlan mencontohkan tindakan musyrik seorang jurnalis. Misalnya, menerima amplop atau uang dari narasumber. Jika si jurnalis diberi tanpa meminta, itu masih bisa dibilang musyrik ringan. Jika sengaja meminta, golongannya lebih parah.

Yang paling parah adalah tidak diberi, tidak diundang, tapi meminta uang dengan cara mengancam. Itulah contoh ketidakfokusan dalam pekerjaan. Jangan sampai ngobyek-nya lebih banyak daripada fokus pekerjaannya. ''Siapa pun yang mau fokus dalam pekerjaan akan meraih kesuksesan,'' tegasnya.


  ***

Sama halnya dengan guru, nasihat Dahlan kala itu. Guru harus fokus untuk membuat siswanya pandai. Termasuk terus belajar dan berinovasi agar pembelajaran menjadi menyenangkan. Jangan sibuk dengan urusan yang lain. Apalagi sibuk ngobyek seperti tipe-tipe kemusyrikan jurnalis yang dicontohkan di atas.

Tiba-tiba, menanggapi keterangan Dahlan Iskan tersebut, seorang guru bertanya. Bagaimana jika si guru bergaji sangat kecil, sedangkan dia sudah berkeluarga dan punya anak? Sudah bukan rahasia bahwa guru-guru yang belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) mengobyek dengan mengajar di beberapa sekolah sekaligus.

Bahkan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk menambah penghasilan, yang pada akhirnya banyak siswa yang pelajarannya terabaikan.

''Bagaimana jika kondisinya seperti itu, apa yang harus kami lakukan?'' tanya seorang guru yang lain. Jawaban Dahlan spontan, 'Kalau begitu keadaannya, ya silakan musyrik saja!,'' sebut Dahlan. Semua guru-guru yang hadir langsung tertawa.

  ***


Ini cerita lain. Dari hasil wawancara pengusaha kenamaan, Bob Sadino, oleh sebuah media bisnis.

Saat ditanya: Apakah pendidikan tinggi itu penting bagi pengusaha ? .

Bob Sadino menjawab, “Pendidikan itu racun buat saya.” Ia memberi contoh. Orang dagang rata-rata cari cari untung. “Kalau saya bilang, saya dagang cari rugi,” jlentrehnya.

Pengusaha nyentrik itu melanjutkan, kalau orang dagang cari untung, apakah untung terus? Kan tidak. Kalau saya bilang cari rugi, apakah saya rugi terus? Kan juga tidak. Lalu apa bedanya?

Pertanyaan lain : Apa faktor yang menjadi kunci keberhasilannya? Bob menjawab dengan lebih aneh lagi, “Karena saya tidak sekolah. Dan karena saya bodoh, makanya saya berhasil,” cetusnya. Menurutnya, orang pintar kebanyakan ngitung untung rugi.

Sehingga ketika dia mulai bertindak, sudah tertinggal jauh sama yang tidak menghitung. Seorang entrepreneur tidak pakai hitung-hitungan begitu. “Saya tidak pernah ngitung dari dulu. Saya suruh orang yang hitung. Karena saya bodoh, saya suruh orang lain yang hitung. Satu-satunya letak kepintaran saya adalah karena saya bisa menyuruh orang lain menghitung,” terang Bob.

  ***

Tentu, dua ilustrasi di atas, masih harus dikembangkan dengan berbagai pertimbangan sesuai keadaan. Dahlan Iskan juga menjelaskan bahwa hidup merupakan pilihan. Masing-masing orang berhak menentukan pilihan sendiri berdasar keyakinannya.

Suatu ketika, salah seorang rekan meminta pertimbangan kepada saya hendak masuk Naban. Saya bilang, ikut saja, coba-coba apa salahnya? Lalu dia ikuti semua prosesnya. Dia bilang, “Prosedur dan tesnya kok lebih susah ya dari PNS?” Singkat cerita, rekan saya diterima sebagai guru Naban tanpa ada halangan.

Sejak awal juga saya tahu dia hampir pasti diterima karena dia menjadi satu-satunya pelamar yang memiliki jenjang pendidikan tertinggi di bidang yang dibutuhkan (S2). Saat diterima, dia lagi-lagi minta pertimbangan kepada saya, apakah harus dimasukin atau tidak.

“Saya Tanya lagi : berapa gajinya?’ Dia jawab, “Dengar-dengar sejutaan..,” (belakangan ternyata malah gak sampai satu juta?). Lalu saya sarankan : “Menurut saya sih, nggak usah diterima. Mending kerja yang lain, atau usaha sendiri saja,” Lalu dia tertawa. Saya lihat, sampai sekarang memang tidak diambilnya jatah guru Naban itu. Ia ikut sekadar coba-coba saja. Dia memang lolos dan diterima. Tapi belakangan hanya ada namanya. Tidak pernah muncul lagi orangnya.

Maafkan jika saya berkontribusi pendapat yang pada akhirnya merugikan pendidikan kota. Demi sebuah jawaban yang fair kepada sahabat saya. (aris@kaltimpost.net)

Catatan Uways alqadrie

Kesedihan Sang Murid

Bagi berita/artikel ini kepada rekan atau kerabat lewat Facebook
Senin (26/4) benar-benar hari yang memilukan untuk 2.193 siswa SMA/MAN/SMK yang dinyatakan tak lulus. Tiga tahun menimba ilmu, lalu dinyatakan tak lulus, saya tak bisa membayangkan kesedihan mereka. Rasa malu pastilah menghinggapi mereka. Ketakutan bakal mengulang lagi, ketika gagal lolos ujian susulan mata pelajar yang gagal, tentu menghantui mereka.

Orangtua pun saya yakini pasti sulit tidur membayangkan nasib sang anak. Meski mereka terlihat berbesar hati, saya yakin isi kepala orangtua akan terus “berputar” sebelum sang anak-anak benar-benar dinyatakan lulus SMA. Apa yang salah? Pada pendidikan kita. Apalagi ketika ada berita di Samarinda, ternyata ada dua sekolah yang seluruh muridnya dinyatakan tak lulus. Saya benar-benar pilu membayangkan. Padahal kita sepertinya sudah menggelontorkan dana yang besar untuk pendidikan. Angka kira–kira Rp 480 miliar untuk dana pendidikan (kalau APBD Samarinda benar-benar terserap Rp 2,4 triliun), sepertinya bukan angka yang kecil. Begitu juga untuk daerah lain-lain.

Dari hasil itu juga terlihat, betapa pada beberapa sekolah swasta, dan yang berada di pinggiran memang seperti ada perbedaan dalam hal prestasi. Kenapa bisa terjadi? Mungkin ini yang harus dijawab teman-teman di Dinas Pendidikan Samarinda. Mestinya, dengan gelontoran dana yang besar, dan sekolah negeri yang bebas SPP, plus guru yang dapat tunjangan insentif, prestasi akademik sang siswa bisa lebih baik. Tapi inilah kenyataan yang kita hadapi di negeri ini.

Ketika tahun 1994 lalu, saya mengikuti Ebta/Ebtanas, ternyata yang tidak lulus tidak sebanyak sekarang. Bahkan ketika itu anggaran pendidikan mungkin relatif sangat kecil. Tapi, zaman telah berubah. Pelajaran di tahun-tahun 2000-an begitu berat. Jauh berbeda dengan masa-masa di tahun 1990-an. Mungkin saja benar, mungkin saja tidak. Generasi sekarang, mestinya memang lebih pintar dibandingkan generasi terdahulu. Mungkin juga pola pendidikan perlu direvisi. Satu yang pasti ketika bekerja, ternyata hanya sedikit yang benar-benar bisa diaplikasikan. Hanya pelajaran berhitung

Satu yang saya bayangkan adalah dampak psikologis sang anak dan orangtua. Sebelum dinyatakan akhirnya lulus, saya yakin akan sulit bagi mereka memejamkan mata. Lulus sekali pun, mungkin tetap tak menyenangkan, karena sempat tak lulus.

Harus bagaimana dunia pendidikan kita? Dana pendidikan itu, benarkah sudah menyentuh pada sesuatu yang lebih nyata yakni peningkatan kualitas mutu pendidikan. Jangan-jangan, angka yang besar itu ternyata sama saja dengan ketika anggaran pendidikan hanya berbilang puluhan miliar, di bawah Rp 30 miliar. Mestinya juga anggaran pendidikan itu diumumkan pada rakyat item demi item untuk memastikan benar-benar untuk peningkatan mutu pendidikan. ***