Kesedihan Sang Murid
Bagi berita/artikel ini kepada rekan atau kerabat lewat Facebook
Senin (26/4) benar-benar hari yang memilukan untuk 2.193 siswa SMA/MAN/SMK yang dinyatakan tak lulus. Tiga tahun menimba ilmu, lalu dinyatakan tak lulus, saya tak bisa membayangkan kesedihan mereka. Rasa malu pastilah menghinggapi mereka. Ketakutan bakal mengulang lagi, ketika gagal lolos ujian susulan mata pelajar yang gagal, tentu menghantui mereka.
Orangtua pun saya yakini pasti sulit tidur membayangkan nasib sang anak. Meski mereka terlihat berbesar hati, saya yakin isi kepala orangtua akan terus “berputar” sebelum sang anak-anak benar-benar dinyatakan lulus SMA. Apa yang salah? Pada pendidikan kita. Apalagi ketika ada berita di Samarinda, ternyata ada dua sekolah yang seluruh muridnya dinyatakan tak lulus. Saya benar-benar pilu membayangkan. Padahal kita sepertinya sudah menggelontorkan dana yang besar untuk pendidikan. Angka kira–kira Rp 480 miliar untuk dana pendidikan (kalau APBD Samarinda benar-benar terserap Rp 2,4 triliun), sepertinya bukan angka yang kecil. Begitu juga untuk daerah lain-lain.
Dari hasil itu juga terlihat, betapa pada beberapa sekolah swasta, dan yang berada di pinggiran memang seperti ada perbedaan dalam hal prestasi. Kenapa bisa terjadi? Mungkin ini yang harus dijawab teman-teman di Dinas Pendidikan Samarinda. Mestinya, dengan gelontoran dana yang besar, dan sekolah negeri yang bebas SPP, plus guru yang dapat tunjangan insentif, prestasi akademik sang siswa bisa lebih baik. Tapi inilah kenyataan yang kita hadapi di negeri ini.
Ketika tahun 1994 lalu, saya mengikuti Ebta/Ebtanas, ternyata yang tidak lulus tidak sebanyak sekarang. Bahkan ketika itu anggaran pendidikan mungkin relatif sangat kecil. Tapi, zaman telah berubah. Pelajaran di tahun-tahun 2000-an begitu berat. Jauh berbeda dengan masa-masa di tahun 1990-an. Mungkin saja benar, mungkin saja tidak. Generasi sekarang, mestinya memang lebih pintar dibandingkan generasi terdahulu. Mungkin juga pola pendidikan perlu direvisi. Satu yang pasti ketika bekerja, ternyata hanya sedikit yang benar-benar bisa diaplikasikan. Hanya pelajaran berhitung
Satu yang saya bayangkan adalah dampak psikologis sang anak dan orangtua. Sebelum dinyatakan akhirnya lulus, saya yakin akan sulit bagi mereka memejamkan mata. Lulus sekali pun, mungkin tetap tak menyenangkan, karena sempat tak lulus.
Harus bagaimana dunia pendidikan kita? Dana pendidikan itu, benarkah sudah menyentuh pada sesuatu yang lebih nyata yakni peningkatan kualitas mutu pendidikan. Jangan-jangan, angka yang besar itu ternyata sama saja dengan ketika anggaran pendidikan hanya berbilang puluhan miliar, di bawah Rp 30 miliar. Mestinya juga anggaran pendidikan itu diumumkan pada rakyat item demi item untuk memastikan benar-benar untuk peningkatan mutu pendidikan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar