Oleh : Aris Darmawan
Tentang gaji tenaga bantu (naban) yang Rp 720 ribu per bulan. Kontroversi ketidaklayakan jumlah yang tergolong sangat kecil itu. Survei data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai kebutuhan per bulan satu keluarga Rp 3,9 juta. Standar UMK Balikpapan Rp 1.075.000. Masih dikajinya tambahan Rp 355.000 (untuk memenuhi angka UMK itu) yang jika dikali 533 (jumlah naban di Balikpapan) x 12 bulan mencapai Rp 2.270.580.000 per tahun.
RASANYA, ingin saya membahas soal berita yang tertulis di Kaltim Post kemarin itu, tapi saya tak mampu. Terlalu banyak yang ada di otak ini, saking prihatinnya, sampai susah sekali saya tumpahkan. Karena kondisi ini sama seperti yang dialami guru honorer di Balikpapan. Informasi yang saya terima dari salahsatu anggota Komisi IV DPRD Balikpapan, guru honorer di kota ini digaji sekira Rp 500 ribuan per bulan, padahal kata anggota dewan itu, sudah ada SK Wali Kota Balikpapan yang mengatur tentang gaji guru honorer, yang kisarannya Rp 800 ribuan.
Sekadar untuk saling sharing, berikut saya ceritakan, pengalaman yang kebetulan saya baca.
Dalam satu kesempatan pertemuan para guru di Surabaya belum lama ini, Fathur Rohim, kepala SMA Muhammadiyah 2 Surabaya, bertanya kepadaCEO Jawa Pos GroupDahlan Iskan (kini Dirut PLN), tentang bagaimana dia bisa sukses membangun Jawa Pos. ''Siapa tahu, kesuksesan itu bisa ditularkan kepada guru-guru yang hadir,'' ujar Fathur.
Dahlan menjawab dengan menceritakan masa kecilnya dulu. Semasa kecil, pria asli Magetan itu sempat masuk pondok pesantren. Dia belajar tauhid selama enam tahun. Inti pelajaran tauhid adalah mengesakan Allah. Jika ditarik pengertiannya, arti bertauhid adalah fokus pada Tuhan. ''Berfokus artinya tidak mikir macam-macam,'' terang Dahlan.
Teori bertauhid itulah yang dia jadikan pedoman untuk meraih kesuksesan. Selama menjadi wartawan, dia selalu fokus. Yaitu, fokus menjalani dunia jurnalistik. Siapa pun yang fokus, ujar Dahlan, bisa meraih kesuksesan. Nah, jika tidak fokus, kata Dahlan, bisa dibilang ''musyrik''.
Kategori musyrik itu bermacam-macam. Mulai yang ringan hingga yang parah. Dahlan mencontohkan tindakan musyrik seorang jurnalis. Misalnya, menerima amplop atau uang dari narasumber. Jika si jurnalis diberi tanpa meminta, itu masih bisa dibilang musyrik ringan. Jika sengaja meminta, golongannya lebih parah.
Yang paling parah adalah tidak diberi, tidak diundang, tapi meminta uang dengan cara mengancam. Itulah contoh ketidakfokusan dalam pekerjaan. Jangan sampai ngobyek-nya lebih banyak daripada fokus pekerjaannya. ''Siapa pun yang mau fokus dalam pekerjaan akan meraih kesuksesan,'' tegasnya.
***
Sama halnya dengan guru, nasihat Dahlan kala itu. Guru harus fokus untuk membuat siswanya pandai. Termasuk terus belajar dan berinovasi agar pembelajaran menjadi menyenangkan. Jangan sibuk dengan urusan yang lain. Apalagi sibuk ngobyek seperti tipe-tipe kemusyrikan jurnalis yang dicontohkan di atas.
Tiba-tiba, menanggapi keterangan Dahlan Iskan tersebut, seorang guru bertanya. Bagaimana jika si guru bergaji sangat kecil, sedangkan dia sudah berkeluarga dan punya anak? Sudah bukan rahasia bahwa guru-guru yang belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) mengobyek dengan mengajar di beberapa sekolah sekaligus.
Bahkan melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk menambah penghasilan, yang pada akhirnya banyak siswa yang pelajarannya terabaikan.
''Bagaimana jika kondisinya seperti itu, apa yang harus kami lakukan?'' tanya seorang guru yang lain. Jawaban Dahlan spontan, 'Kalau begitu keadaannya, ya silakan musyrik saja!,'' sebut Dahlan. Semua guru-guru yang hadir langsung tertawa.
***
Ini cerita lain. Dari hasil wawancara pengusaha kenamaan, Bob Sadino, oleh sebuah media bisnis.
Saat ditanya: Apakah pendidikan tinggi itu penting bagi pengusaha ? .
Bob Sadino menjawab, “Pendidikan itu racun buat saya.” Ia memberi contoh. Orang dagang rata-rata cari cari untung. “Kalau saya bilang, saya dagang cari rugi,” jlentrehnya.
Pengusaha nyentrik itu melanjutkan, kalau orang dagang cari untung, apakah untung terus? Kan tidak. Kalau saya bilang cari rugi, apakah saya rugi terus? Kan juga tidak. Lalu apa bedanya?
Pertanyaan lain : Apa faktor yang menjadi kunci keberhasilannya? Bob menjawab dengan lebih aneh lagi, “Karena saya tidak sekolah. Dan karena saya bodoh, makanya saya berhasil,” cetusnya. Menurutnya, orang pintar kebanyakan ngitung untung rugi.
Sehingga ketika dia mulai bertindak, sudah tertinggal jauh sama yang tidak menghitung. Seorang entrepreneur tidak pakai hitung-hitungan begitu. “Saya tidak pernah ngitung dari dulu. Saya suruh orang yang hitung. Karena saya bodoh, saya suruh orang lain yang hitung. Satu-satunya letak kepintaran saya adalah karena saya bisa menyuruh orang lain menghitung,” terang Bob.
***
Tentu, dua ilustrasi di atas, masih harus dikembangkan dengan berbagai pertimbangan sesuai keadaan. Dahlan Iskan juga menjelaskan bahwa hidup merupakan pilihan. Masing-masing orang berhak menentukan pilihan sendiri berdasar keyakinannya.
Suatu ketika, salah seorang rekan meminta pertimbangan kepada saya hendak masuk Naban. Saya bilang, ikut saja, coba-coba apa salahnya? Lalu dia ikuti semua prosesnya. Dia bilang, “Prosedur dan tesnya kok lebih susah ya dari PNS?” Singkat cerita, rekan saya diterima sebagai guru Naban tanpa ada halangan.
Sejak awal juga saya tahu dia hampir pasti diterima karena dia menjadi satu-satunya pelamar yang memiliki jenjang pendidikan tertinggi di bidang yang dibutuhkan (S2). Saat diterima, dia lagi-lagi minta pertimbangan kepada saya, apakah harus dimasukin atau tidak.
“Saya Tanya lagi : berapa gajinya?’ Dia jawab, “Dengar-dengar sejutaan..,” (belakangan ternyata malah gak sampai satu juta?). Lalu saya sarankan : “Menurut saya sih, nggak usah diterima. Mending kerja yang lain, atau usaha sendiri saja,” Lalu dia tertawa. Saya lihat, sampai sekarang memang tidak diambilnya jatah guru Naban itu. Ia ikut sekadar coba-coba saja. Dia memang lolos dan diterima. Tapi belakangan hanya ada namanya. Tidak pernah muncul lagi orangnya.
Maafkan jika saya berkontribusi pendapat yang pada akhirnya merugikan pendidikan kota. Demi sebuah jawaban yang fair kepada sahabat saya. (aris@kaltimpost.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar